Indonesia dikenal sebagai negeri seribu gunung berapi, dan salah satu yang memikat namun masih jarang dijelajahi adalah Gunung Lewotobi. Terletak di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), gunung ini sebenarnya terdiri dari dua puncak aktif: Lewotobi Laki-laki dan Lewotobi Perempuan. Keduanya tidak hanya menjadi daya tarik bagi para pendaki dan peneliti vulkanologi, tapi juga menyimpan nilai spiritual dan budaya yang dalam bagi masyarakat sekitar HONDA138.
Keunikan Gunung Lewotobi

Nama “Lewotobi” sendiri berasal dari kata “lewo” yang berarti kampung atau wilayah, dan “tobi” yang merujuk pada sesuatu yang sakral atau berkuasa. Sehingga secara kultural, kawasan ini dianggap suci oleh masyarakat adat setempat.
Keunikan utama dari Gunung Lewotobi terletak pada pembagian peran berdasarkan jenis kelamin. Lewotobi Laki-laki dikenal sebagai gunung yang lebih aktif secara vulkanik, dengan kawah yang lebih terbuka dan sering mengeluarkan letusan kecil.
Dari lerengnya, pendaki bisa melihat bentang alam Flores Timur yang dramatis—perbukitan hijau, kebun cengkeh dan kopi milik warga, serta laut biru yang membentang di kejauhan.
Rute Pendakian dan Tantangan Alam
Titik awal pendakian biasanya dimulai dari Desa Jontona, yang berada di kaki gunung. Dari sini, para pendaki akan melalui ladang-ladang warga dan hutan lebat sebelum mencapai area sabana dan bebatuan vulkanik di ketinggian.
Ketinggian Lewotobi Laki-laki sekitar 1.584 meter di atas permukaan laut (mdpl), sedangkan Lewotobi Perempuan sedikit lebih rendah, yakni sekitar 1.703 mdpl. Meski tidak terlalu tinggi dibanding gunung-gunung lain di Indonesia, medan yang curam dan kondisi tanah vulkanik yang mudah longsor membuat pendakian ke gunung ini cukup menantang. Ditambah lagi, belum banyak fasilitas penunjang seperti penanda jalur, shelter, atau pos pemantauan di jalur pendakian.
Pendakian ke puncak Lewotobi Laki-laki memerlukan stamina yang cukup dan kewaspadaan tinggi, terutama jika kondisi cuaca mendadak berubah. Kabut tebal dan hujan bisa turun tiba-tiba, membuat jalur menjadi licin. Karena itu, disarankan untuk mendaki bersama pemandu lokal yang mengenal medan dan juga memahami kondisi gunung.
Mitos dan Kepercayaan Lokal
Seperti banyak gunung lain di Indonesia, Gunung Lewotobi juga dikelilingi oleh berbagai mitos dan cerita rakyat yang menarik. Masyarakat adat di Flores Timur percaya bahwa gunung ini merupakan tempat tinggal para roh leluhur.
Menurut cerita lokal, ketika gunung meletus atau mengeluarkan asap, itu adalah pertanda bahwa pasangan tersebut tengah “bertengkar” atau sedang “berbicara” kepada masyarakat. Maka dari itu, ketika terjadi aktivitas vulkanik, masyarakat akan mengadakan ritual adat seperti “kaka lewo” atau “soka molan” untuk menenangkan roh-roh gunung dan meminta keselamatan.
Selain itu, sebelum mendaki gunung, masyarakat adat kerap melakukan upacara permisi atau persembahan kecil di kaki gunung. Ini dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada penguasa alam dan meminta izin agar perjalanan berjalan lancar. Para pendaki dari luar daerah pun dianjurkan mengikuti tradisi ini sebagai bentuk rasa hormat terhadap budaya lokal.
Flora dan Fauna di Sekitar Gunung
Meskipun tergolong kawasan vulkanik aktif, lereng Gunung Lewotobi menyimpan kekayaan hayati yang menakjubkan. Hutan-hutan di sekitarnya menjadi habitat bagi berbagai spesies tumbuhan endemik, seperti anggrek liar, pohon eukaliptus, hingga rotan dan bambu hutan. Sementara itu, satwa seperti babi hutan, rusa Timor, dan burung-burung eksotis seperti kakatua dan elang Flores sering dijumpai oleh para pendaki yang beruntung.
Kawasan ini juga dikenal sebagai salah satu wilayah penting untuk konservasi burung di Indonesia, terutama bagi spesies-spesies langka yang hanya ditemukan di NTT.
Potensi Wisata Alam dan Budaya
Gunung Lewotobi bukan hanya destinasi bagi para pendaki atau peneliti. Kawasan ini memiliki potensi wisata alam dan budaya yang sangat besar. Selain jalur pendakian, desa-desa di sekitar kaki gunung memiliki kearifan lokal yang masih terjaga. Pengunjung dapat merasakan pengalaman tinggal bersama masyarakat adat, belajar tentang tenun ikat Flores Timur, serta mencicipi makanan tradisional seperti jagung titi, se’i, dan ubi rebus.
Biasanya, perayaan adat dilakukan pada musim panen atau saat terjadi fenomena alam tertentu yang dianggap sakral.
Menuju Gunung Lewotobi
Dari Larantuka, perjalanan dilanjutkan ke Desa Jontona atau desa-desa lainnya di sekitar kaki gunung dengan kendaraan roda empat. Infrastruktur jalan masih sederhana, dan di beberapa titik bisa menjadi cukup menantang, terutama saat musim hujan.
Disarankan untuk mengatur perjalanan bersama pemandu lokal atau agen wisata setempat yang memahami kondisi medan, cuaca, serta budaya masyarakat sekitar.
Pelestarian dan Tanggung Jawab Pendaki
Sebagai kawasan yang kaya akan nilai budaya dan ekologis, Gunung Lewotobi memerlukan perhatian khusus dalam aspek pelestarian. Sayangnya, belum ada sistem manajemen pendakian yang tertata rapi seperti di gunung-gunung populer lainnya di Indonesia.
Pendaki diharapkan membawa kembali sampah mereka, tidak merusak flora atau fauna setempat, serta menghormati adat dan tradisi lokal. Dalam jangka panjang, pelestarian kawasan ini tidak hanya akan menjaga keindahan alamnya, tapi juga memperkuat identitas budaya masyarakat Flores Timur.
Penutup
Gunung Lewotobi adalah simbol kekuatan alam, keindahan tersembunyi, dan kekayaan budaya yang luar biasa di ujung timur Pulau Flores. Mendaki gunung ini bukan hanya tentang menaklukkan puncaknya, tetapi juga tentang memahami hubungan spiritual antara manusia dan alam, sebagaimana diyakini oleh masyarakat adat setempat. Bagi mereka yang mencari pengalaman autentik dan berbeda dari jalur pendakian mainstream, Gunung Lewotobi menawarkan petualangan yang mengesankan, penuh makna, dan tak terlupakan.